DETAKWAKTUNEWS – Dampak terbesar buruknya penyelenggaraan Pemilu 2024, melahirkan apa yang disebut “trauma kecurangan”. Dalam kasus seperti ini, kebudayaan Banjar mengejeknya dengan ungkapan “pancat ka tahi-tahi”.
Para pakar mengatakan Pemilu paling brutal dan paling kriminal. Akibatnya, ketika Pilkada disiapkan, kepercayaan terhadap penyelenggara tidak segera pulih. Pun kepercayaan terhadap aparat yang seharusnya netral, tidak boleh berpihak kemana pun, sulit secepatnya pulih. Karena memang tidak cukup alasan melupakan semua kecurangan yang sudah terjadi, sebab sangat tragis.
Apa akibatnya bila ‘trauma kecurangan’ terus berlanjut?
Pertama, pesimisme terhadap proses dan hasil Pilkada, mengakibatkan rendahnya partisipasi. Apalagi berbagai upaya ‘main curang’, ‘telikung aturan’, ‘arogansi modal’, sudah dilakukan sejak awal, ketika kotak kosong menjadi strategi mengganjal pesaing.
Kedua, rendahnya kepercayaan kepada penyelenggara. Bahkan di kalangan anak muda yang masih idealis, mempertanyakan netralitas penyelenggara. Benarnya penyelenggara netral? Mungkinkah bisa netral? Pastikah tidak tergoda iming-iming? Mungkinkah tidak disusupi pihak-pihak yang piawai memainkan kelemahan penyelenggara? Dan berbagai pertanyaan bernada meragukan penyelenggara terlontar dengan polos.
Kenapa pertanyaan tersebut muncul? Karena kunci kejujuran pelaksanaan Pilkada, ada pada penyelenggara yang berintergritas. Kalau integritasnya sudah tersandra kepentingan, apalagi tersandera kasus kecurangan Pemilu sebelumnya, sulit ditegakkan kembali.
Ketiga, keraguan pada netralitas aparat. Sekali pun tidak turut memilih, aparat yang tidak netral sangat mudah memanipulasi hasil perhitungan suara untuk pemenangan calon tertentu. Caranya dengan menekan penyelenggara yang sudah tersandera kasus kecurangan, untuk ikut tidak netral.
Agar Pilkada tidak sia-sia, tidak ada pilihan kecuali terus ‘cerewet’, terus lantang menyuarakan segala potensi yang berpeluang menjadikan prosesnya sekedarnya saja, bahkan abal-abal.
Pilkada yang traumatik, sebab sekedar prosedur, sedang hasilnya dapat diatur dengan memanfaatkan rendahnya partisipasi, penyelenggara yang tidak berintegritas, serta aparat yang tidak netral?. (nm)