(Ambin Demokrasi)
Oleh: Noorhalis Majid
DETAKWAKTUNEWS, Caleg bercerita, pada hari pencoblosan, dia datang tidak terlalu pagi ke TPS depan rumahnya. TPS yang sebagian besar pemilihnya adalah tetangga, kawan dan handai taulan. Setiba di TPS, tidak langsung mengambil nomor antrian, tapi berbincang dengan orang-orang yang semuanya mengenalnya dengan sangat akrab.
Lalu, masing-masing warga yang sudah melakukan pencoblosan, mendatanginya dan menyalami, menyatakan mereka satu keluarga mendukung caleg tersebut. Ada hampir 20 warga datang bersalaman dan semua menyatakan mendukung dengan jumlah pemilih minimal 3 atau 4 dalam satu keluarga.
Waktu perhitungan tiba, penuh percaya diri – berharap mendulang suara karena di TPS sendiri, ternyata caleg tersebut hanya mendapat 14 suara, dan itu pun 4 suara dinyatakan tidak sah. Jadi hanya 10 suara yang benar-benar memilih dirinya. Tentu saja 10 suara tersebut dari dia sendiri, istri dan anak-anaknya, sisanya entah siapa dari sekian banyak mengaku ikut mencoblos. Caleg tersebut pulang dan langsung tidur hingga sore hari.
Cerita caleg lainnya lebih parah. Dia sudah menggelontorkan uang lebih 600 juta guna melakukan apa saja yang menurut tim pemenangannya mampu mendulang suara. Banyak yang menawarkan diri mampu menghimpun suara, lengkap membawa copy KTP dan daftar nama sesuai alamat TPS, datanya direkap dengan rapi.
Saat hari pencoblosan, jumlah suara yang sudah dibayar kontan melalui orang-orang yang mengaku mampu menghimpun suara tersebut, ternyata nol – tidak ada suaranya.
Caleg tersebut kaget, bukan hanya kalah, tapi juga kena tipu. Akhirnya memilih tidak keluar rumah selama seminggu. Semua orang yang datang menemuinya ditolak. Trauma berat, seakan semua orang yang menemuinya adalah penipu – dunia terasa hampa.
Begitulah kejamnya Pemilu, tidak ada pilihan, kalau kalah harus lakas move on, nanti gila. (nm/Red)
