(Ambin Demokrasi)
Oleh: Noorhalis Majid
DETAKWAKTUNEWS, Apa dalil paling mendasar untuk membantah bahwa Presiden boleh tidak netral dalam Pemilu? Simpel sekali, salah satu tugas dan tanggung jawab Presiden adalah “menyelenggarakan Pemilu setiap lima tahun sekali”. Dalil ini pernah dipakai menolak keinginan perpanjangan masa jabatan Presiden, dan berhasil.
Tersirat pada dalil tersebut Presiden penyelenggara puncak dari Pemilu, sebab bagian dari tugas dan tanggung jawab yang wajib dilaksanakan. Bila tidak, Presiden dapat dianggap gagal dan boleh diberhentikan. Untuk itu harus membentuk penyelenggara Pemilu, mempersiapkan regulasi dan menyediakan anggaran yang cukup.
Sebagai penyelenggara puncak, tentu Presiden harus netral. Bila tidak netral, mentri-mentri juga akan tidak netral, tidak mengundurkan diri atau cuti dari jabatannya. Selanjutnya tidak bisa dihindari, kepala daerah, ASN, aparat keamanan, aparat pemerintahan sampai tingkat desa, juga akan tidak netral.
Bisa dibayangkan, pada situasi seperti itu betapa kacaunya Pemilu. Tarik menarik kepentingan akan terjadi, konflik pasti tidak bisa dihindari. Bahkan, apa perlunya pengawas Pemilu? Karena sudah tidak perlu diawasi lagi, semuanya sudah boleh.
Kebudayaan Banjar menyindir situasi yang kacau seperti ini dengan ungkapan “tapuntal tapulalit”. Satu keadaan yang kusut, menyaling nyilang tidak karuan hingga hampir menggumpal. Tidak tahu di mana ujung dan pangkalnya. Tidak tahu bagaimana membetulkannya.
Tapuntal berasal dari kata puntal atau gulungan. Sedangkan tapulalit dari kata lilit, seperti lilitan tali pada satu benda yang tidak beraturan. Saat jadi ungkapan, menggambarkan satu urusan yang sulit sekali diselesaikan. Tidak tahu apa dan dimana sebabnya, hulu hilirnya sudah tidak bisa diidentifikasi, semua saling terkait, saling silang tidak menentu dan suilit dipecahkan.
Kalau Pemilu berpotensi seperti ini, jangan dibiarkan. Semuanya harus bersuara mencegahnya, agar situasi tidak semakin rumit, kacau sampai semuanya “tapuntal tapulalit”. (nm/Red)