DETAKWAKTUNEWS, Banjarmasin – Berbagai pertanyaan muncul, ketika PP 25/2024 terbit dan memberikan tawaran kepada ormas keagamaan untuk ikut mengelola tambang. FKUB Kalimantan Selatan tertarik mendiskusikannya dalam dialog theologis (22/6/2024), bertempat di aula Sasana Bhakti, Komplek Gereja Katolik Jl. Veteran Banjarmasin, sebab kebijakan tersebut pasti berdampak bagi kerukunan beragama, karena ormas keagamaan sejatinya menjaga moral masyarakat, dan ketika menambang akan banyak hal-hal dilematis terjadi.
Dialog dipandu oleh Noorhalis Majid, ketua Bidang Dialog FKUB Kalsel, menghadirkan tiga orang narsumber, yaitu Ketua FKUB Kalimantan Selatan, Drs. M. Ilham Masykuri Hamdie, MA; Pastor Managamtua Hery Berthus, SJ dari Keuskup Banjarmasin; dan DR. ENG. Akbar Rahman, ST, MT, IAI, selaku akademisi dan pengamat lingkungan hidup.
Ilham Masykuri Hamdie, mengatakan, David Wallace-Well memprediksi situasi kita akan lebih buruk, bahkan jauh lebih buruk dari yang dipikirkan, jika tidak melakukan tindakan drastis untuk menyelamatkan lingkungan.
Ancaman kematian karena suhu yang semakin panas, kelaparan karena krisis pangan akibat gagal panen, banjir besar menenggelamkan banyak tempat, kebakaran hutan memperburuk cuaca, kekeringan menyebabkan krisis air di mana-mana, udara yang rusak oleh berbagai pencemaran, lautan yang mati karena menampung banyak limbah dan sampah. Dan semua itu merubah segala yang ada di muka bumi, inilah yang disebut krisis ekologis, kata Ilham Masykuri Hamdie memulai paparannya.
Terkait Ormas ikut menambang, tentu saja akan ada dilema moral. Satu sisi seolah akan menjawab kebutuhan ekonomi , tapi di sisi lain bagaimana dengan upaya pelestarian lingkungan. Belum lagi kalau dihadapkan pada keadilan antar generasi. Semua ini menjadi menjadi tanggung jawab bersama memikirksannya, bahkan menjadi tanggung jawab global untuk berpihak pada lingkungan.
Ada beberapa kecendrungan dalam menanggapai krisis ekologis. Ada yang berakar dari masalah ekonomi dan politik, bersumber dari nilai falsafah dan agama, gaya hidup dan teks kitab suci. Pendekatan antroposentris, dengan konsep taskhir, bahwa Allah menciptakan alam semesta sebagai sarana bagi manusia untuk menjalankan kewajibannya. Bahwa alam ditundukkan oleh manusia, seolah manusia dapat dan boleh berbuat segalanya. Mestinya umat beragma juga melihat pendekatan sufistik, bahwa alam ini perwujudan wajah Tuhan. Alam hanya bisa dikelola oleh khalifah, seorang yang bertanggungjawab – pengganti Tuhan di muka bumi. Perlu tindakan etik sebagai wakil Tuhan di muka bumi, ujar Ilham.
Selanjutnya Ilham memaparkan tentang prinsif deep ecology. Theologi mendalam, menghadapi theological yang dangkal. Manusia harus mengurangi kegiatan agar tidak merusak alam. Mengkritik pendekatan darwinisme yang arogan terhadap alam. Islam mengusung keharmonisan alam. Kristen menawarkan penataan bumi dengan penghormatan terhadap alam. Buddhisme, mengajarkan kesaling terkaitan pada semua makhluk hidup. Hindhuisme, mengatakan bahwa alam manifestasi ilahi. Konghucu mengajarkan keharmonisan alam dengan manusia. Kaharingan dan agama lokal lainnya, menanamkan penghormatan yang sangat tinggi pada alam semesta.
Ilham juga mengenalkan tentang deep ecologi, bahwa para agamawan harus mau duduk bersama. Terus mengenalkan konsep biosentris ekologi secara mendalam, dan dilakukan kolaborasi antar keyakinan yang berbeda. Ia mencuplik pendapat Naess yang mengatakan, agama memiliki wajah ganda, semua makhluk hidup harus dicintai, dijaga, dilestarikan, karena ia gambaran ekspresi Tuhan yang terbuka dan inkkusif. Agama harus bertindak mengatasi krisis ekologis.
Pastor Managamtua Hery Berthus, atau biasa dipanggil Pastor Agam, menyampaikan bahwa pembicaraan theologis seperti ini bagai orang yang mencoba naik bersusah payah ke puncak gunung, setelah sampai di atas, ternyata para theolog sedang minum kopi di atas puncak tersebut.
Isu ini seksi seksaligus sentif dalam banyak hal. Tambang dianggap meningkatkan penerimaan pemerintah, mengurangi pengangguran, menyerap tenaga kerja, pelaksanaannya sudah sesuai hukum positif, sudah melibatkan masyarakat, sudah sosialisasikan. Tapi pertanyaannya apakah benar demikian? Apa yang jadi masalah, ada patologi pertambangan? Tidak benar tambang itu menyejahtrakan, nyatanya banyak yang miskin. Tanah bukan hanya hancur, juga beracun. Menurut penelitian, biaya perbaikan lingkungan akibat tambang selama setahun perlu 103 juta US dollar. Apakah mampu membayar sebebar itu?
Begitu juga dengan masyarakat adat, kalau tanah sudah dijual, apakah mereka masih dapat ikut ritual adat? Kehidupan berubah, gaya berubah. Paham antroposentris, manusia seolah bebas berbuat apapun. Perlu memahamkan tentang human ekologi, yaitu menyelaraskan manusia dengan lingkungan. Laudato si, artikel 61. Alam rusak, ibu bumi menangis, manusia harus mengambil arah yang lain.
Dr. ENG. Akbar Rahman, mengatakan bahwa kejadian hari ini, merupakan refleksi semesta. Buah dari aksi dan reaksi. Tinggal kita memilih, mau semakin baik atau memburuk. Iqro, sebagaimana ayat pertama dalam Islam, mengajarkan untuk menalar segala kejadian yang ada. Harus betul-betul deep, mendalami. Hal-hal yang dianggap positif harus dicermati sedemikian rupa , jangan-jangan ini jebakan batman. Walau setiap kejadian selalu ada sisi positifnya, namun nilai theologislah yang mesti menjadi benteng.
Suhu bumi selalu turun dan naik agar ada keseimbangan. Intervalnya 12,5 derajat. Dalam masa 500 tahun dia selalu seimbang. Pase hari ini, menuju puncaknya 15,5 derajat. Suhu anomali. Grafiknya sekarang sedang naik dan sudah melewati batas normalnya. Diketahui sejak 1970 hingga sekarang, suhu semakin parah. Perlu kerja bersama mengatasi bumi.
Dulu kita mengenal istilah pemanasan global, sekarang istilahnya sudah “pendidihan global”. Suhu naik menjadi 50 drajat lebih. Kongres bumi memprediksi, tahun 2030 akan terjadi panas bumi mencapai 60 drajat. Kita harus mengurangi penggunaan energi, tapi Cina dan Amerika menolak kesepakatan itu dan Indonesia tentu mengikutinya. Padahal penyumbang terbesar panas bumi ini adalah sektor energi, gas rumah kaca. Bersumber dari fosil yang merusak alam kita. Tidak bisa berdiam diri, sebab kita rakus terhadap sumber daya alam tak terbarukan.
Kalau ormas ikut menambang, bagaimana caranya agar alam tetap hijau? Apakah ormas punya kompetensi? Sementara selama ini tenaga kerja lokal hanya jadi buruh kasar dan ekonomi tidak meningkat. Yang terjadi justru banjir dan masyarakat semakin miskin.
Tidak boleh berdiam diri. Sumber daya alam yang dimiliki, jangan sampai jadi kutukan. Kita harus mampu hidup berdampingan dengan alam secara damai.
Para peserta yang terdiri dari para tokoh agama, menyampaikan tanggapannya.
Dr Mirhan, wakil ketua FKUB Kalsel, mengatakan bahwa tawaran menambang ini tidak ada salahnya kalau diterima, dengan menerapkan aturan yang ketat akan bisa dilakukan. Buktinya di lokasi tambang terjadi perubahan kesejahtraan masyarakat yang sangat signifikan. Banyak orang kaya dengan menjual lahan. Kalau tawaran ini tidak diambil bagaimana?, apakah terjamin lingkungan juga akan baik?
Humaidy, anggota FKUB Kalsel, menyarankan agar fiqh tambang dikeluarkan saja. Kalau tidak ada pembaharuan soal pemahaman fiqh, terutama terkait konsep dosa. Selama ini ada yang disebut dosa ritual, dosa sosial dan dosa lingkungan. Pahala lingkungan, bisa menghapus dosa individual. Alam ini tajalinya Tuhan.
Bayani Dahlan, Bendahara FKUB Kalsel, berpendapat, kenapa hukum ditetapkan, tujuannya untuk memelihara lingkungan, karena itu memelihara lingkungan bagian dari asas hukum. Kalau ulama menambang, pasti akan lebih terkontrol. Ulama juga berhak menambang, karena ulama taat pada hukum, takut dengan dosa, takut murka Tuhan, karena itu beri saja kesempatan untuk melakukannya, boleh jadi lingkungan akan lebih bagus.
DR. Hj Ratna, seorang mantan birokrat, mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dikejar tidak boleh mengorbankan lingkungan. Apakah ormas punya kemampuan mengelola tambang?. NU sudah mengajukan izin usaha tambang. Apakah ormas yang menolak boleh dibilang buntung? Yang diperhatikan dari tambang adalah dimana wilayahnya?, siapa mitranya?. Banyak lahan tidur dan riskan kalau dibiarkan.
DR Hatmiati dari Hulu Sungai Utara, menyatakan sepakat tidak ada agama yang menyuruh merusak alam. Dialog theologis ingin memberikan penjelasan apakah menambang itu boleh atau tidak? Kalau tetap menambang, apa yang perlu dilakukan? Bagaimana kalau semua aturan terkait tambang diikuti? Bagaimana dengan lobang tambang yang merusak lingkungan?
Made, dari PHDI Kalsel, mengatakan bahwa tawaran ini sangat menggiurkan. Menurut ajaran Hindhu Tri Hita Karana, hal itu sangat bertentangan. Syahwat bisnis menyebabkan mengabaikan apa yang diajarkan dalam Tri Hita Karana. Ormas keagamaan mestinya justru sebagai lembaga kontrol. Bila itu mampu dilakukan, merupakan kedudukan yang sangat tinggi.
Ilham Masykuri Hamdie memberikan tanggapan, kalau tawaran ini dianggap menguntungkan, menguntungkan bagi siapa? Bukan soal berhak atau tidak berhak, tapi bagaimana dampaknya?. Fiqh tambang sudah ada, tapi siapa yang memakainya?. Kita sedang menghadapi krisisi moral dan dilema moral. Bagi para penambang, konsep dosa jangan-jangan tidak ada lagi, yang ada justu cuci dosa. Agama mesti menjadi garda penjaga moral. Pendekatan deontologis, mengajarkan bahwa sebuah tindakan itu benar kalau tindakan tersebut selaras dengan prinsif kewajiban yang relevan untuknya. Penting untuk mengenalkan pendekatan utilitarianisme, bahwa kebaikan adalah tindakan yang memaksimalkan kebahagiaan dan kesejahtraan bagi semua individu, bukan hanya bagi kelompoknya saja, tapi bagi semuanya. Kekuatan moral harus dilakukan para agama, sekarang ini nampak “benyem”. FKUB tugasnya menjaga moral masyarakat.
Romo Agam, memberikan respon. Pengalaman yang direfleksikan, dapat menjadi guru. Dulu kita bertarung secara gologi dan terjadi perang dunia pertama dan kedua. Lalu ada istilah geopolitik, membangun kekuasaan, dibangunlah berbagai sekutu dan itu didominasi oleh Amerika. Sekarang kita sudah memasuki perang perebutan energi. Kelak setelah ini, kita akan menghadapi perang berebut air. Hal apa yang buntung? Saya kira tidak ada yang buntung. Itu adalah pilihan. Kami lebih memilih merawat dan menanam dan tidak pernah berasa buntung. Tambang ini cirinya eksploitatif. Tidak sekedar pertarungan struktur atau agensi. Gereja tidak mau masuk ke wilayah itu, tetap memilih sebagai penjaga garda moral. Tambang hanya akan meninggalkan kota-kota mati dikemudian hari.
DR. Akbar Rahman pun menyampaikan pengalamannya. Jepang, terkait tambang, aspek agama sangat berperan. Agama mereka Sinto. Gunung, tempat para dewa bertinggal. Mereka memilih disemayamkan di gunung, kuil dibagun di gunung. Kenapa mereka tidak menambang, karena beli hasil tambang dari Indonesia lebih murah, padahal mereka juga memiliki potensi tambang, begitu juga dengan Cina, lebih baik membeli dari pada menambang, karena dampaknya yang begitu besar. Silahkan ambil tawaran tersebut, tapi setelah itu tidurkan lahannya agar ada keseimbangan alam, sayangnya ada batas waktu dan harus ditambang.
Fathurrahman, mantan penyiar RRI, membagi pengalamannya ketika di Jerman, tambang di sana direklamasi dan dipulihkan, sementara di tempat kita dibiarkan. Kalau mereklamasi, apakah mampu? Sering sekali terjadi pembelokan aturan. Bagaimana caranya agar aturan bisa dipatuhi?
Khairil Azhar, dari FKP RRI, menyampaikan dukungannya soal FKUB sebagai penjaga moral, sama dengan apa yang disuarakan Muhammadiyah. Jangan mundur lagi, tetaplah menjadi penjaga moral.
Abu Bakar, seorang petani dan pegiat sosial, mengatakan bahwa thelogi itu menyangkut hubungan antara Tuhan dan firman. Alam semesta adalah wahyu umum. Wahyu khsusus itu kitab suci. Merusak alam, berarti merusak wahyu. Negara harus memberi uang pada ormas, sehingga tidak perlu harus menambang. Gerakan ini bisa jadi bom yang memporak porandakan PP yang sudah dibuat. Tokoh agama harus menjadi garda terdepan. Bagaimana dapat mengakui dosa kalau tidak bertuhan. Perlu kritik terhadap UU Pertambangan agar memberikan bagi hasil yang adil bagi daerah seperti Kalsel yang menghasilkan tambang.
Munawar, dari alwasliah, berpendapat bahwa tawaran ini jangan-jangan bagian dari memperdayakan ormas – bukan memberdayakan. Kita layak curiga ini upaya membungkam ormas. Sehingga kalau ada sesuatu terjadi pada lingkungan, ormas keagamaan akan menjadi kambing hitam bagi kerusakan alam.
DR Werhan Asmin, anggota FKUB Kalsel. Dari sisi hukum ini hanyalah pepesan kosong. Karena yang ditawarkan adalah lahan eks HPH yang sudah ditinggalkan. Jangan-jangan justu hanya tinggal mengelola masalah, bukan mendapatkan keuntungan.
Dialog ditutup dengan pernyataan simpulan dari para narasumber; Ilham Masykuri Hamdie menegaskan, melalui kegiatan ini FKUB ingin mengingatkan agama dan para pemuka agama agar berperan sebagai penjaga moral. Sementara Pastor Agam, kembali mencuplik Laudato si, bahwa jika kita mengamati sekeling kita, pada dasarnya manusia telah mengecewakan Allah. Mari kita viralkan untuk terus merawat dan menanam agar ada keseimbangan alam. Akbar Rahman, satu kabupaten di Kalsel yang menambang, menghasilkan 40 juta ton pertahun. Bila ditotal seluruh kabupaten penghasil tambang, Kalsel ini memproduksi 200 juta ton tambang dalam setahun, bila diuangkan jumlah mencapai 230 trilyun pertahun, sementara bagi hasil yang didapatkan Kalsel hanya 10 trilyun. Dari perhitungan ini apakah kita untung? (nm/Red)