(Ambin Demokrasi)
Oleh: Noorhalis Majid
DETAKWAKTUNEWS, Seorang ketua KPPS becerita, banyak kertas suara yang tidak coblos. Dari 280 pemilih, hanya 190 yang datang mencoblos, dan dari 190 yang memasukkan surat suara ke kotak, terdapat 60 lebih tidak mencoblos. Surat suara dibiarkan utuh seperti sedia kala.
Cerita ini juga ada TPS-TPS lainnya. Pemilih banyak datang, tapi ketika kotak dibuka, masih banyak surat suara yang utuh tidak dicoblos. Akhirnya dimasukkan menjadi surat suara tidak sah.
Kuat dugaan, pemilih hanya membuka surat suara yang dia mau, selebihnya tidak dibuka. Misalnya dia hanya ingin berpartisipasi pada Pilpres atau DPD maka surat suara Pilpres atau DPD lah yang dicoblos. Surat suara lain diabaikan, dan langsung dimasukkan dalam kotak suara.
Memang tantangan pemilu serempak seperti ini, warga harus mengingat 5 pilihan sekaligus. Tentu sulit dilakukan oleh para manula atau yang masih buta huruf.
Caleg yang tandem menggunakan nomor sama, menjadi lebih mudah diingat oleh pemilih. Tapi, disebabkan antrian yang cukup panjang dan waktu di bilik relatif lama, akhirnya sebagian hanya memilih yang dia mau, selebihnya golput.
Terhadap fenomena tersebut, kami ingin menyebutnya dengan istilah “partisipasi golput”. Dua hal kontradiktif. Betul sudah berpartisipasi dengan datang langsung ke TPS, namun setiba di bilik suara, sebagian dia berpartisipasi, sebagiannya lagi memilih golput. Tindakan tersebut dalam kebudayaan Banjar disebut “maantara”, berada di dua antara sikap, memilih dan golput – keduanya sama-sama dilakukan.
Terhadap cara pemilihan yang begitu rumit, sayangnya tidak dibarengi sosialisasi masif. Apalagi ketika lebih fokus pada Pilpres, hanya surat suara presidenlah yang menjadi perhatiannya. Terhadap Pileg dengan jumlah caleg yang begitu banyak, mustahil dikenal semuanya, akhirnya membuka peluang money politik, memilih sesuai kebutuhan permintaan yang sudah bayar. (nm/Red)
