(Ambin Demokrasi)
Oleh: Noorhalis Majid
DETAKWAKTUNEWS, “Tahapan mana dari Pemilu yang sulit dijaga dan diprediksi?”, tanya seorang awam kepada caleg.
“Ada tiga tahap penting, kata sang caleg. “Tahap pertama kampanye. Sekali pun sudah berkampanye pada satu komunitas, belum tentu dapat suara. Walau sudah disertai kucuran sembako dan amplop, belum tentu beroleh suara. Apalagi bila terbiasa menerima amplop, semua diambil, tanpa malu – tanpa tanggung jawab. Seratus ribu, dibilas oleh dua ratus, dibilas lagi yang tiga ratus, demikian seterusnya tanpa ada kepastian. Tahap ini ‘pembelantikan’ mengalami musim panen”, lanjut caleg menjelaskan.
“Tahap kedua, adalah hari pencoblosan. Ini juga penuh ketidak pastian. Apakah yang sudah berjanji memilih akan tetap memilih. Di akhir waktu, saat berada di bilik suara, semua yang terasa pasti bisa saja seketika berubah. Komitmen di masa kampanye yang semula berapi-api penuh janji kesetiaan, ternyata palsu. Berharap dapat suara, nyatanya nol besar”.
“Dan tahap ketiga, adalah menghadapi hari-hari panjang masa perhitungan dengan proses berjenjang. Mulai dari perhitungan di KPPS. Jangan kira semua yang memilih suaranya sah. Sangat banyak yang berjanji memilih ternyata hasil coblosannya tidak sah. Pengetahuan dan kemampuan yang terbatas, berpotensi melahirkan banyaknya suara tidak sah”.
“Pun proses rekapitulasi dan pleno dan PPS, PPK dan KPUD. Sangat mungkin di perjalanan tiba-tiba suara dicuri, dipangkas – berpindah kepada caleg lain. Apalagi bila penyelenggara komitmen dan integritasnya rendah, maka tidak ada yang bisa menjamin suara terjaga dengan utuh”.
“Tiga tahapan tersebut sangat sulit dijaga, bahkan boleh dibilang penuh ketidakpastian, kebohongan, manipulasi dan penghianatan. Kalau pun ada yang mampu menjaganya, maka termasuk ‘mahagai nang kada kahagaan’. Perlu sumber daya dan sumber dana yang tidak sedikit”, kata caleg menutup cerita pengalamannya. (nm/Red)
